Selasa, 03 Januari 2012

REVIEW ARTIKEL


Review artikel pada koran kompas pada hari selasa, 25 Oktober 2011

Judul artikel
Kutukan Politik Uang

Dari artikel mengenai “Kutukan politik uang” menjelaskan bagaimana partai politik mendapatkan uang untuk biaya politik di Indonesia yang berujung pada kasus dugaan korupsi.  Disatu sisi banyak khalayak yang bertanya mengenai dari sumber mana  untuk mendanai biaya politik yang dinilai mengeluarkan angka yang fantastis setiap bulannya. Salah satunya seperti wakil bendahara umum partai Golkar, Bambang Soesatyo yang menjelaskan bahwa partai Golkar setiap bulannya mengeluarkan dana hingga Rp 10 miliar untuk pembiayaan partai Golkar dari tingkat pusat hingga tingkat kecamatan.
Biaya politik untuk menunjang jalannya partai politik membutuhkan dana besar untuk menjalankan mesin politiknya. Belum lagi jutaan rupiah yang harus keluar dari calon presiden, gubernur, dan walikota/bupati untuk membiayai kampanye mereka. Pada dasarnya para politikus mengeluarkan “investasi” yang besar untuk mencapai kedudukan politik. Sehingga pada saat berkuasa cenderung mencari imbal balik dari investasi yang sudah dilakukan.
Banyak orang yang berbondong-bondong ingin menjadi politisi di Indonesia walaupun harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit dalam mengkampanyekan dirinya. Hal ini karena manfaat yang dipetik menjadi politisi adalah amat besar, serta kedudukan yang dinilai orang merupakan pekerjaan yang tinggi, baik secara politis maupun financial.
Mahalnya biaya politik bukanlah perkara yang baru. Hal ini sudah menjadi perbincangan khalayak luas mengenai anggaran yang harus dikeluarkan oleh partai, tetapi tidak memandang masyarakat, sehingga membuat kekecewaan rakyat terhadap elite politik. Seperti halnya ketika pemilu datang, para partai politik maupun kelompok elite rela turun ke jalan untuk bersikap empati untuk melihat kondisi kelompok bawah, tetapi ketika usai pemilu seolah-olah politisi meninggalkan tanggung jawab mereka untuk lebih mensejahterahkan rakyat.

Judul artikel
“Runtuhnya ideologi partai politik”,
“Menaruh harapan pada partai politik”, dan
“Bukan dipersatukan ideologi”

Dari ketiga artikel “runtuhnya ideologi partai politik”, artikel “menaruh harapan pada partai politik” dan artikel “bukan dipersatukan ideologi” dapat dikatakan apabila ideologi terdapat perbedaan, itu tidak akan bisa membentuk partai politik. Karena pada dasarnya partai politik dibentuk berdasarkan kesamaan ideologi, pikiran atau gagasan, serta tujuan dan cita-cita yang sama. Partai politik yang berideologi dengan menganut ideologi agama, ideologi komunis, dan ideologi nasional. 
Partai politik di Indonesia sudah lama meninggalkan ideologi untuk mendasari kerjasamanya dengan partai lain. ideologi pada partai Demokrat, Golkar, PDI-P,  Hanura, dan Gerindra relatif berdekatan. Akan tetapi, yang terjadi sekarang berbeda. Partai Demokrat justru bersama dengan PPP dan PKS yang keduanya berasaskan Islam, serta didukung PAN dan PKB dan menyusul Golkar.
Ideologi adalah partai politik yang tidak hanya sekedar pengikat antara para anggota parpol, tetapi merupakan suatu kedekatan partai politik untuk mencapai suatu tujuan besar, bukan tujuan pribadi atau golongan yang sesat (pragmatis).  Karena pada dasarnya, pragmatisme kaum elite politik menjadi kata kunci. Untuk elite politik, sering kali yang penting adalah menjadi kepala negara, kepala daerah, atau anggota legsilatif. Karena menurut elite politik lebih penting menang  dan terus berkuasa dari pada mempersoalkan ideologi partai politik.
Dalam mempersatukan ideologi pada runtuhnya ideologi partai politik, ideologi pada oreintasi parpol di Indonesia memang mengalami pergeseran. Sebelumnya, parpol di Indonesia merupakan partai massa yang memiliki ideologi jelas. Akan tetapi, kini, parpol berkembang menjadi partai elektoral yang lebih berorientasi pada upaya memenangi pemilu.
Pada runtuhnya ideologi partai politik, masyarakat masih menaruh harapan pada partai politik. Karena keberadaan parpol adalah salah satu ciri utama pada sebuah negara demokrasi, selain ciri lainnya, yakni (pemilu) yang bebas dan adil. Namun demikian, para politisi beranggapan bahwa masyarakat masih menaruh harapan untuk para politisi. Sehingga, saat ini dibutuhkan para politisi cerdas dan bernurani yang bisa menjawab kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Gerakan reformasi tahun 1998 membawa perubahan mendasar dalam kelembagaan partai politik. Sosok kelembagaan parpol, yang sebelumnya demikian elitis dan hegemonik akibat strategi politik Orde Baru, secara drastis berubah menjadi lebih egaliter dan demokratis. Kebijakan politik Orde Baru yang sejak tahun 1973 mengonsolidasikan potensi fragmentasi politik multipartai Orde Lama ke dalam tiga kontestan pemilu: PPP, Golkar, dan PDI, terhantam gelombang tuntutan demokrasi.
Saat ini, keterlibatan kader parpol yang begitu luas malah menyebabkan berbagai kebobrokan. Keikutsertaan parpol yang begitu dalam penentuan penyaluran anggaran, misalnya membuka peluang selebar-lebarnya bagi terjadi korupsi megamiliar.
Partai massa muncul dari gerakan masyarakat sipil di luar parlemen. Masyarakat sipil membangun parpol karena adanya kesamaan ideologi yang kuat. Masyarakat masuk secara sukarela menjadi anggota, bahkan memberikan uang atau iuran untuk operasional parpol.
Sedangkan partai elektoral timbul dan dikelola oleh kalangan elite dan profesional. Ideologi tak lagi menjadi pengikat utama.
Partai elektoral hanya berorientasi untuk memenangi pemilu, dengan mengupayakan pendekatan kepada masyarakat atau pemilih. Pergeseran orientasi parpol di Indonesia tidak lepas dari evolusi kepartaian yang umum terjadi seluruh dunia. Ada pergeseran yang mendasar yang menandai runtuhnya partai massa. Jika orientasi partai massa adalah memperkuat basis konstituen atau membangun basis sosial, partai elektoral lebih bersifat terbuka, karena segmentasi yang akan direkrut menjadi lebih luas. Partai elektoral lebih mengedepankan isu atau program dibandingkan membangun serta memperkuat pengakaran politik dan basisnya.

Judul artikel
Semua Mengarah ke Tengah

Dari artikel “Semua mengarah ke tengah”, ini merupakan salah satu kerja partai politik adalah memenangkan pemilu demi mengejar ideologi dalam kerja politik praktis. Dengan adanya pemilu masyarakat bisa menyalurkan hak mereka untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan keinginan mereka yang berdasarkan pada ideologi. Tetapi perbincangan soal ideologi kian lama kian tenggelam, itu karena ada beberapa isu yang ramai dibicarakan oleh politikus yaitu soal koalisi dan reshuffle kabinet, perkara dugaan korupsi proyek wisma atlet SEA Games di Palembang, dan yang terakhir adalah polemik pembangungan gedung baru DPR.
Partai politik terlihat pada arus pragmatisme. Konstelasi politik terkini menunjukan terjadinya inkonsistensi dalam sikap partai di parlemen. Adanya dana aspirasi sarat kepentingan partai memberikan sebuah potret pada kita, betapa gejala pragmatisme saat ini sangat terasa di partai politik Indonesia.
Di sisi lain, secara internal partai cenderung menginklusifkan diri dan mencoba untuk merangkul semua kalangan sebagai konstituen. Ideologi politik tidak lagi menjadi basis sikap. Sehingga, jika dulu berpolitik untuk mengekspresikan komitmen ideologis, sekarang justru sebaliknya:  berpolitik untuk kepentingan-kepentingan pragmatis. Dalam demokrasi yang sudah terinstitusionalisasi, ideologi partai akan mengarah ke tengah dan membuat penyekat ideologi antarpartai akan semakin blur.
Pancasila kini yang menjadi dasar dan tujuan dalam setiap kebijakan partai. Seperti salah satunya partai Demokrat yang memenangi pemilu 2009, membangun ideologi nasionalisme religius dengan gambar bahwa partai ini partai yang mengarah ke tengah bukan yang mengarah pada haluan kanan maupun kiri.
Saat ini ideologi sudah tak menarik lagi sebagai alat pengikat partai dengan kader dan pemilihnya. Ideologi makin dikembangkan menjadi lebih terbuka, lebih inklusif pada wacana ideologi dari masa lalu yang bobotnya kian lama kian menurun.

Judul artikel
Wajah Coreng Moreng di media Massa

Dari atrikel “wajah coreng moreng di media massa” yang menjelaskan bahwa media mempunyai poisisi yang paling strategis diantara elemen negara yang lain seperti birokrasi, eksekutif, legislatif, yudikatif bahkan sampai partai politik karena media mempunyai senjata yang ampuh yaitu dapat mempengaruhi opini publik dan menggiring persepsi masyarakat untuk tujuannya. Media juga dapat menjadi sarana yang efektif untuk mengkonstruk image atau citra bahkan menjatuhkan lawan politik tertentupun dapat dilakukan dengan strategi penguasaan media.
Peranan media diharapkan dapat melakukan pendidikan politik bagi rakyat. Setidaknya media dapat berperan untuk berpengaruh politik bagi masyarakat yaitu penambahan informasi tentang pemilu, mempengarui perilaku memilih, sehingga akan berdampak pada sistem politik yang berjalan. Selain itu, media dapat menjadi sarana bagi sosialisasi program-program dari kandidat pemimpin, media juga menjadi sarana untuk menmberitakan sepak terjang kandidiat sehingga diharapakan masyarakat mempunyai penilaian dan tidak salah pilih terhadap kandidat pemimpin.
Isu-isu politik yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari pemberitaan media massa. Khusunya pada saat musim pemilu, para kadar partai berebutan untuk tampil di media massa. Karena tujuan dari iklan itu sendiri adalah persuasif (mengajak). Hal ini sebagai bentuk pencitraan partai politik dimata konsumen. Dengan dikemas oleh media massa, partai politik yang disuguhkan dalam iklan akan terkesan merakyat. Tetapi banyak partai yang menggunakan media massa untuk mengajak atau memilih partainya atau bahkan dengan janji-janji setelah partainya memenangkan pemilu, jarang sekali mereka mengiklankan partainya dengan keterkaitan masalah yang terjadi di Indonesia, seperti kemiskinan, pengangguran, sembako naik ataupun masalah kebangsaan.
Disatu sisi, dari media massa lah masyarakat dapat mengetahui apa yang terjadi pada partai politik di Indonesia. Seperti buruknya pemerintahan maupun partai politik yang hanya mementingkan golongan kaum elite semata, tanpa mementingkan golongan kaum bawah. Bahkan bisa dikatakan media lebih menyiarkan tentang buruknya pemerintahan di Indonesia dibandingkan dengan pemberitaan positif. Seperti maraknya pemberitaan korupsi, kinerja pemerintah yang buruk dan masih banyak lainnya.
Maka sudah seharusnya partai politik harus lebih membenah diri, agar terhindar dari pemberitaan media yang menjatohkan citra postif partainya. Karena pada dasarnya suatu kepemimpinan atau kekuasan seharusnya dijadikan panutan atau contoh kepada masyarakat agar terciptanya negara dan bangsa yang adil dan makmur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar