Review artikel pada koran kompas pada hari
selasa, 25 Oktober 2011
Judul
artikel
Kutukan Politik Uang
Dari
artikel mengenai “Kutukan politik uang” menjelaskan bagaimana partai politik
mendapatkan uang untuk biaya politik di Indonesia yang berujung pada kasus
dugaan korupsi. Disatu sisi banyak
khalayak yang bertanya mengenai dari sumber mana untuk mendanai biaya politik yang dinilai
mengeluarkan angka yang fantastis setiap bulannya. Salah satunya seperti wakil
bendahara umum partai Golkar, Bambang Soesatyo yang menjelaskan bahwa partai
Golkar setiap bulannya mengeluarkan dana hingga Rp 10 miliar untuk pembiayaan
partai Golkar dari tingkat pusat hingga tingkat kecamatan.
Biaya
politik untuk menunjang jalannya partai politik membutuhkan dana besar untuk
menjalankan mesin politiknya. Belum lagi jutaan rupiah yang harus keluar dari
calon presiden, gubernur, dan walikota/bupati untuk membiayai kampanye mereka.
Pada dasarnya para politikus mengeluarkan “investasi” yang besar untuk mencapai
kedudukan politik. Sehingga pada saat berkuasa cenderung mencari imbal balik
dari investasi yang sudah dilakukan.
Banyak
orang yang berbondong-bondong ingin menjadi politisi di Indonesia walaupun
harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit dalam mengkampanyekan dirinya.
Hal ini karena manfaat yang dipetik menjadi politisi adalah amat besar, serta
kedudukan yang dinilai orang merupakan pekerjaan yang tinggi, baik secara
politis maupun financial.
Mahalnya
biaya politik bukanlah perkara yang baru. Hal ini sudah menjadi perbincangan
khalayak luas mengenai anggaran yang harus dikeluarkan oleh partai, tetapi
tidak memandang masyarakat, sehingga membuat kekecewaan rakyat terhadap elite
politik. Seperti halnya ketika pemilu datang, para partai politik maupun
kelompok elite rela turun ke jalan untuk bersikap empati untuk melihat kondisi
kelompok bawah, tetapi ketika usai pemilu seolah-olah politisi meninggalkan
tanggung jawab mereka untuk lebih mensejahterahkan rakyat.
Judul artikel
“Runtuhnya ideologi partai politik”,
“Menaruh harapan pada partai politik”, dan
“Bukan dipersatukan ideologi”
Dari ketiga artikel “runtuhnya ideologi partai
politik”, artikel “menaruh harapan pada partai politik” dan artikel “bukan
dipersatukan ideologi” dapat dikatakan apabila ideologi terdapat perbedaan, itu
tidak akan bisa membentuk partai politik. Karena pada dasarnya partai politik
dibentuk berdasarkan kesamaan ideologi, pikiran atau gagasan, serta tujuan dan
cita-cita yang sama. Partai politik yang berideologi dengan menganut ideologi
agama, ideologi komunis, dan ideologi nasional.
Partai politik di Indonesia sudah lama meninggalkan
ideologi untuk mendasari kerjasamanya dengan partai lain. ideologi pada partai
Demokrat, Golkar, PDI-P, Hanura, dan
Gerindra relatif berdekatan. Akan tetapi, yang terjadi sekarang berbeda. Partai
Demokrat justru bersama dengan PPP dan PKS yang keduanya berasaskan Islam,
serta didukung PAN dan PKB dan menyusul Golkar.
Ideologi adalah partai politik yang tidak hanya
sekedar pengikat antara para anggota parpol, tetapi merupakan suatu kedekatan
partai politik untuk mencapai suatu tujuan besar, bukan tujuan pribadi atau
golongan yang sesat (pragmatis). Karena
pada dasarnya, pragmatisme kaum elite politik menjadi kata kunci. Untuk elite
politik, sering kali yang penting adalah menjadi kepala negara, kepala daerah,
atau anggota legsilatif. Karena menurut elite politik lebih penting menang dan terus berkuasa dari pada mempersoalkan
ideologi partai politik.
Dalam
mempersatukan ideologi pada runtuhnya ideologi partai politik, ideologi pada
oreintasi parpol di Indonesia memang mengalami pergeseran. Sebelumnya, parpol
di Indonesia merupakan partai massa yang memiliki ideologi jelas. Akan tetapi,
kini, parpol berkembang menjadi partai elektoral yang lebih berorientasi pada
upaya memenangi pemilu.
Pada
runtuhnya ideologi partai politik, masyarakat masih menaruh harapan pada partai
politik. Karena keberadaan parpol adalah salah satu ciri utama pada sebuah
negara demokrasi, selain ciri lainnya, yakni (pemilu) yang bebas dan adil.
Namun demikian, para politisi beranggapan bahwa masyarakat masih menaruh
harapan untuk para politisi. Sehingga, saat ini dibutuhkan para politisi cerdas
dan bernurani yang bisa menjawab kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Gerakan
reformasi tahun 1998 membawa perubahan mendasar dalam kelembagaan partai
politik. Sosok kelembagaan parpol, yang sebelumnya demikian elitis dan hegemonik akibat strategi politik Orde Baru, secara
drastis berubah menjadi lebih egaliter dan demokratis. Kebijakan politik Orde
Baru yang sejak tahun 1973 mengonsolidasikan potensi fragmentasi politik
multipartai Orde Lama ke dalam tiga kontestan pemilu: PPP, Golkar, dan PDI,
terhantam gelombang tuntutan demokrasi.
Saat ini,
keterlibatan kader parpol yang begitu luas malah menyebabkan berbagai
kebobrokan. Keikutsertaan parpol yang begitu dalam penentuan penyaluran
anggaran, misalnya membuka peluang selebar-lebarnya bagi terjadi korupsi
megamiliar.
Partai
massa muncul dari gerakan masyarakat sipil di luar parlemen. Masyarakat sipil
membangun parpol karena adanya kesamaan ideologi yang kuat. Masyarakat masuk
secara sukarela menjadi anggota, bahkan memberikan uang atau iuran untuk
operasional parpol.
Sedangkan partai elektoral timbul dan dikelola oleh kalangan elite dan profesional. Ideologi tak lagi menjadi pengikat utama.
Sedangkan partai elektoral timbul dan dikelola oleh kalangan elite dan profesional. Ideologi tak lagi menjadi pengikat utama.
Partai
elektoral hanya berorientasi untuk memenangi pemilu, dengan mengupayakan
pendekatan kepada masyarakat atau pemilih. Pergeseran orientasi parpol di Indonesia
tidak lepas dari evolusi kepartaian yang umum terjadi seluruh dunia. Ada
pergeseran yang mendasar yang menandai runtuhnya partai massa. Jika orientasi
partai massa adalah memperkuat basis konstituen atau membangun basis sosial,
partai elektoral lebih bersifat terbuka, karena segmentasi yang akan direkrut
menjadi lebih luas. Partai elektoral lebih mengedepankan isu atau program
dibandingkan membangun serta memperkuat pengakaran politik dan basisnya.
Judul
artikel
Semua Mengarah ke Tengah
Dari artikel
“Semua mengarah ke tengah”, ini merupakan salah satu kerja partai politik
adalah memenangkan pemilu demi mengejar ideologi dalam kerja politik praktis.
Dengan adanya pemilu masyarakat bisa menyalurkan hak mereka untuk memilih pemimpin
yang sesuai dengan keinginan mereka yang berdasarkan pada ideologi. Tetapi
perbincangan soal ideologi kian lama kian tenggelam, itu karena ada beberapa
isu yang ramai dibicarakan oleh politikus yaitu soal koalisi dan reshuffle
kabinet, perkara dugaan korupsi proyek wisma atlet SEA Games di Palembang, dan yang
terakhir adalah polemik pembangungan gedung baru DPR.
Partai
politik terlihat pada arus pragmatisme. Konstelasi politik terkini menunjukan
terjadinya inkonsistensi dalam sikap partai di parlemen. Adanya dana aspirasi sarat kepentingan partai memberikan
sebuah potret pada kita, betapa gejala pragmatisme saat ini sangat terasa di
partai politik Indonesia.
Di sisi lain, secara internal partai cenderung
menginklusifkan diri dan mencoba untuk merangkul semua kalangan sebagai
konstituen. Ideologi politik tidak lagi menjadi basis sikap. Sehingga, jika
dulu berpolitik untuk mengekspresikan komitmen ideologis, sekarang justru
sebaliknya: berpolitik untuk kepentingan-kepentingan
pragmatis. Dalam demokrasi yang sudah terinstitusionalisasi, ideologi partai
akan mengarah ke tengah dan membuat penyekat ideologi antarpartai akan semakin
blur.
Pancasila kini yang menjadi dasar dan tujuan dalam setiap
kebijakan partai. Seperti salah satunya partai Demokrat yang memenangi pemilu
2009, membangun ideologi nasionalisme religius dengan gambar bahwa partai ini
partai yang mengarah ke tengah bukan yang mengarah pada haluan kanan maupun
kiri.
Saat ini ideologi sudah tak menarik lagi sebagai alat
pengikat partai dengan kader dan pemilihnya. Ideologi makin dikembangkan
menjadi lebih terbuka, lebih inklusif pada wacana ideologi dari masa lalu yang
bobotnya kian lama kian menurun.
Judul
artikel
Wajah
Coreng Moreng di media Massa
Dari
atrikel “wajah coreng moreng di media massa” yang menjelaskan bahwa media
mempunyai poisisi yang paling strategis diantara elemen negara yang lain
seperti birokrasi, eksekutif, legislatif, yudikatif bahkan sampai partai
politik karena media mempunyai senjata yang ampuh yaitu dapat mempengaruhi
opini publik dan menggiring persepsi masyarakat untuk tujuannya. Media juga
dapat menjadi sarana yang efektif untuk mengkonstruk image atau citra bahkan
menjatuhkan lawan politik tertentupun dapat dilakukan dengan strategi
penguasaan media.
Peranan media
diharapkan dapat melakukan pendidikan politik bagi rakyat. Setidaknya media
dapat berperan untuk berpengaruh politik bagi masyarakat yaitu penambahan
informasi tentang pemilu, mempengarui perilaku memilih, sehingga akan berdampak
pada sistem politik yang berjalan. Selain itu, media
dapat menjadi sarana bagi sosialisasi program-program dari kandidat pemimpin,
media juga menjadi sarana untuk menmberitakan sepak terjang kandidiat sehingga
diharapakan masyarakat mempunyai penilaian dan tidak salah pilih terhadap
kandidat pemimpin.
Isu-isu politik yang terjadi di Indonesia
tidak lepas dari pemberitaan media massa. Khusunya pada saat musim pemilu, para
kadar partai berebutan untuk tampil di media massa. Karena tujuan dari iklan
itu sendiri adalah persuasif (mengajak). Hal ini sebagai bentuk pencitraan
partai politik dimata konsumen. Dengan dikemas oleh media massa, partai politik
yang disuguhkan dalam iklan akan terkesan merakyat. Tetapi banyak partai yang
menggunakan media massa untuk mengajak atau memilih partainya atau bahkan
dengan janji-janji setelah partainya memenangkan pemilu, jarang sekali mereka mengiklankan partainya dengan keterkaitan masalah yang terjadi
di Indonesia, seperti kemiskinan, pengangguran, sembako naik ataupun masalah
kebangsaan.
Disatu sisi, dari media massa lah masyarakat
dapat mengetahui apa yang terjadi pada partai politik di Indonesia. Seperti
buruknya pemerintahan maupun partai politik yang hanya mementingkan golongan
kaum elite semata, tanpa mementingkan golongan kaum bawah. Bahkan bisa
dikatakan media lebih menyiarkan tentang buruknya pemerintahan di Indonesia
dibandingkan dengan pemberitaan positif. Seperti maraknya pemberitaan korupsi,
kinerja pemerintah yang buruk dan masih banyak lainnya.
Maka sudah seharusnya partai politik harus
lebih membenah diri, agar terhindar dari pemberitaan media yang menjatohkan
citra postif partainya. Karena pada dasarnya suatu kepemimpinan atau kekuasan
seharusnya dijadikan panutan atau contoh kepada masyarakat agar terciptanya
negara dan bangsa yang adil dan makmur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar